Minggu, 01 Mei 2011

apa itu remaja???

Remaja adalah waktu manusia berumur belasan tahun.masa remaja manusia tidak dapat disebut sudah dewasa tetapi tidak dapat pula disebut anak – anak. Masa remaja adalah masa peralihan manusia dari anak – anak menuju dewasa.
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 tahun sampai 21 tahun.
Dari bahasa inggris “teenager” yakni manusia usia 13-19 tahun.
Dewasa ini, kenakalan remaja telah menjadi penyakit ganas di tengah-tengah masyarakat, mengingat remaja merupakan bibit pemegang tampuk pemerintahan negara di masa depan. Lebih parah, berbagai kasus kenakalan remaja tersinyalir telah meresahkan masyarakat, semisal kasus pencurian, kasus asusila seperti free sex, pemerkosaan, bahkan pembunuhan. Oleh berbagai praktisi media bahkan para pemerhati sosial hal ini telah banyak digubris dan dicari benang merahnya. Hanya saja, sejauh ini usaha tersebut belum terlihat goal dan terkesan hanya sebagai bahan berita di media massa dan diskursus oleh berbagai kalangan yang belum ada realisasi khusus.
Sejatinya, kenakalan semacam itu normal terjadi pada diri remaja karena pada masa itu mereka sedang berada dalam masa transisi: anak menuju dewasa. Seperti pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto, 1985: 73), perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal. Terkait dengan kenakalan remaja, dalam bukunya yang berjudul “Rules of Sociological Method” disebutkan bahwa dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal karena tidak mungkin dihapusnya secara tuntas. Dengan demikian, perilaku dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan dilihat pada suatu perbuatan yang tidak disengaja. Namun, kontras dengan pemikiran tersebut, kenyataan yang akhir-akhir ini terjadi adalah kenakalan remaja yang disengaja, yakni dilakukan dengan kesadaran. Miris!
Pengaruh psikologis
Remaja, seperti dikatakan di atas, yang merupakan masa transisi dari anak menuju dewasa, memiliki potensi besar untuk melakukan hal-hal menyimpang dari kondisi (baca: perilaku) normal. Seperti ada pergolakan dalam diri mereka untuk melakukakan hal-hal yang berbeda dengan yang lain di sekelilingnya, hal-hal yang dianggap normal oleh kebanyakan orang. Sependapat dengan hal itu, Becker (dalam Soerjono Soekanto, 198: 86), mengatakan bahwa mereka yang menyimpang mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal itu disebabkan karena setiap manusia pada dasarnya pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi tertentu. Sebaliknya, orang yang dianggap normal dapat menahan diri dari dorongan-dorongan untuk menyimpang. Tak pelak, dorongan semacam itupun didasari oleh berbagai hal, seperti motif untuk mencari sensasi, bahkan karena sifat dasar remaja yang pada usia itu sedang melalui tahap mengidentifikasi, semisal yang dilakukan dari tokoh idola atau yang dianggapnya wah.

Lingkungan, Pembentuk Karakter Remaja

Selain pengaruh psikologi, lingkungan pun memiliki pengaruh vital dalam pembentukan karakter remaja yang selanjutnya akan diperankan dalam proses sosialisasinya sebagai makhluk sosial, termasuk perannya untuk berbuat kenakalan atau tidak. Seseorang dapat menjadi buruk atau jelek karena hidup dalam lingkungan yang buruk (Eitzen, 1986:10). Lebih jauh dikritisi, kondisi semacam itu memungkinkan seseorang (baca: remaja) melakukan penyimpangan karena lingkungan telah mengalami disorganisasi sosial, sehingga nilai-nilai dan norma yang berlaku telah lapuk atau seakan tinggal nama/ sebagai simbol. Dengan kata lain, sanksi yang ada seolah sudah ‘tidak’ berlaku lagi.
Remaja semacam itu yang oleh Kartini Kartono (1988: 93) disebut sebagai anak cacat sosial atau cacat mental sebenarnya sudah mengalami demoralisasi atau pemerosotan gradasi moral. Selain karena kondisi sosial di atas, kondisi keluarga pun sangat menentukan, terutama proses pendidikan dari orang tua sebagai upaya pembentukan karakter (character building) anak.
Sebagai bukti, Masngudin HMS, dalam sebuah penelitiannya tentang hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat kenakalan di Pondok Pinang, Jakarta, menyebutkan bahwa salah satu sebab kenakalan adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Dari 30 koresponden, mereka yang orang tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3 responden (10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari data seluruh responden yang orang tuanya tidak memperhatikan sama sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang memperhatikan 11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar